---
Polemik Lahan Eigendom Darmo Hill: Dari Warisan Kolonial hingga Langkah Kementerian Menuntaskan Sengketa Tanah di Jantung Surabaya
Bab I: Akar Masalah dari Masa Kolonial
Kawasan Darmo Hill di Surabaya bukan sekadar kompleks perumahan elite yang berdiri megah di atas tanah seluas puluhan hektare. Di balik pemandangan rumah-rumah modern, taman-taman rapi, dan jalanan yang tertata, tersimpan kisah panjang tentang kepemilikan lahan yang berawal dari sistem hukum agraria Belanda—eigendom verponding—yang diwariskan sejak zaman kolonial Hindia Belanda.
Sistem eigendom adalah bentuk hak milik penuh yang diakui secara hukum kolonial, biasanya diberikan kepada individu atau perusahaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, status tanah-tanah eigendom seharusnya dikonversi menjadi hak milik atau hak guna sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Namun, tak semua lahan berhasil dikonversi, terutama yang kepemilikannya tumpang tindih atau tidak jelas pewarisnya.
Darmo Hill menjadi salah satu contohnya. Tanah seluas sekitar 30 hektare di kawasan Surabaya Selatan ini dulunya dimiliki oleh seorang keturunan Belanda yang pada masa penjajahan tinggal di daerah Darmo. Setelah mereka meninggalkan Indonesia, lahan tersebut terbengkalai, sebagian ditempati warga, sebagian lagi dikelola pengembang, dan sebagian diklaim oleh pihak swasta yang mengaku sebagai ahli waris sah.
Bab II: Awal Konflik dan Klaim Ganda
Pada awal tahun 2000-an, muncul beberapa perusahaan yang mengaku memiliki hak atas lahan tersebut dengan dasar sertifikat lama, surat pernyataan ahli waris, hingga dokumen eigendom verponding yang diterbitkan tahun 1930-an. Namun di sisi lain, warga yang telah menempati lahan sejak puluhan tahun juga memiliki dokumen girik, surat jual beli di bawah tangan, hingga bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan.
Konflik mulai mencuat ketika salah satu perusahaan pengembang mengajukan permohonan sertifikasi hak milik ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya. Warga protes. Mereka menilai langkah itu sepihak karena sebagian dari mereka telah menghuni tanah tersebut sejak puluhan tahun tanpa pernah mendapat masalah hukum.
Pada 2015, kasus ini mulai ramai diperbincangkan setelah terjadi pemasangan plang "tanah milik PT X" di beberapa titik Darmo Hill. Warga yang merasa memiliki lahan secara turun-temurun marah dan menuntut klarifikasi. Dari sinilah konflik terbuka antara pengembang, warga, dan pemerintah mulai mencuat ke publik.
Bab III: BPN dan Sengkarut Administrasi
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya mengakui bahwa lahan Darmo Hill adalah salah satu kasus paling kompleks dalam sejarah pertanahan di kota tersebut. "Statusnya tidak hitam putih. Ada lahan bekas eigendom yang belum pernah dikonversi, ada pula tanah negara yang kemudian diklaim oleh pihak tertentu," ujar seorang pejabat BPN yang enggan disebut namanya.
BPN menemukan bahwa sebagian dokumen lama memang sah secara hukum kolonial, namun tidak otomatis berlaku setelah diberlakukannya UUPA. Masalahnya, beberapa pihak tetap menggunakan dokumen itu untuk mengajukan sertifikat baru. Akibatnya, muncul tumpang tindih sertifikat di atas lahan yang sama.
Beberapa warga bahkan memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN sekitar tahun 1990-an, sedangkan di sisi lain, ada pula sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama perusahaan yang terbit tahun 2005. Sengkarut administratif inilah yang membuat persoalan Darmo Hill terus berlarut.
Bab IV: Langkah Pemerintah Kota Surabaya
Pemerintah Kota Surabaya sempat berusaha menengahi. Pada 2018, Wali Kota Surabaya saat itu membentuk tim kecil yang beranggotakan perwakilan BPN, kejaksaan, serta bagian hukum pemkot untuk melakukan verifikasi dokumen. Namun hasilnya tidak kunjung jelas karena banyak dokumen eigendom yang sudah rusak atau tidak lengkap.
"Ini warisan sistem lama. Tidak mudah menuntaskannya karena aspek legal dan historisnya bercampur," kata seorang pejabat Bagian Hukum Pemkot Surabaya. Ia menambahkan bahwa beberapa area di Darmo Hill juga masuk dalam peta rencana tata ruang kota (RTRK) sebagai kawasan hijau, yang berarti tidak semua lahan bisa dialihkan untuk pembangunan komersial.
Namun, tekanan publik meningkat. Warga meminta pemerintah memberi kepastian hukum agar tidak lagi hidup dalam ketidakjelasan. Mereka bahkan membentuk paguyuban warga Darmo Hill Bersatu untuk memperjuangkan hak mereka secara kolektif.
Bab V: Kementerian Agraria Turun Tangan
Situasi memanas membuat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akhirnya turun tangan. Pada awal 2025, Menteri ATR/BPN mengirim tim investigasi dari Jakarta untuk meninjau langsung kondisi lapangan.
Tim kementerian melakukan verifikasi fisik dan yuridis, menelusuri arsip eigendom verponding di Arsip Nasional, serta mencocokkan data peta digital dengan arsip lama. Hasil awal menunjukkan bahwa sebagian besar lahan Darmo Hill memang masih berstatus tanah bekas eigendom yang belum dikonversi, artinya secara hukum termasuk tanah negara yang dapat dikelola pemerintah.
"Jika memang terbukti tanah itu belum pernah dikonversi menjadi hak milik sah, maka negara berhak mengambil alih dan menentukan penggunaannya," ujar seorang pejabat kementerian dalam konferensi pers di Jakarta.
Namun, kementerian juga menegaskan bahwa penetapan itu tidak serta-merta menggusur warga. Pemerintah menjanjikan solusi win-win antara warga yang sudah lama menempati lahan dengan pemegang dokumen lama.
Bab VI: Suara dari Lapangan
Di tengah konflik itu, suara warga menjadi potret nyata dari ketidakpastian hukum agraria. Siti Rahma, 62 tahun, misalnya, telah tinggal di Darmo Hill sejak 1987. "Kami beli tanah ini dari orang tua yang sudah lama tinggal di sini. Ada surat jual beli, ada girik, tapi sekarang dibilang tanah negara. Kami bingung harus percaya siapa," ujarnya dengan nada getir.
Sementara itu, perwakilan pengembang, yang mengklaim memiliki dokumen asli eigendom, menyatakan bahwa mereka hanya menjalankan hak hukum yang sah. "Kami memiliki bukti kepemilikan yang legal secara historis. Kami hanya ingin menata kawasan ini sesuai izin pembangunan yang berlaku," kata kuasa hukum salah satu perusahaan.
Konflik seperti ini mencerminkan wajah problem agraria Indonesia: tumpang tindih hukum kolonial dan hukum nasional, lemahnya administrasi, serta minimnya sosialisasi konversi hak tanah setelah kemerdekaan.
Bab VII: Analisis Hukum dan Sosial
Pakar agraria dari Universitas Airlangga, Prof. Haryadi Santoso, menilai bahwa kasus Darmo Hill merupakan cerminan klasik dari belum tuntasnya reformasi agraria. "Hukum agraria Indonesia sebenarnya sudah jelas sejak 1960, tetapi implementasinya tidak seragam. Banyak tanah eigendom yang belum dikonversi karena tidak ada inisiatif atau kesadaran dari pemegangnya. Ketika generasi berganti, muncul perebutan," katanya.
Menurutnya, penyelesaian seperti Darmo Hill tidak cukup dengan pendekatan hukum formal. Harus ada kebijakan sosial, seperti pemberian hak prioritas bagi warga yang sudah lama menempati lahan dan penggantian wajar bagi pihak lain yang punya dokumen lama.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya peran pemerintah pusat dalam mendorong digitalisasi arsip agraria. "Selama masih ada celah antara data fisik dan data yuridis, kasus seperti ini akan terus terjadi," ujarnya.
Bab VIII: Langkah Kementerian Menuju Penyelesaian
Menanggapi kompleksitas tersebut, Kementerian ATR/BPN menyiapkan beberapa skenario penyelesaian. Pertama, melakukan inventarisasi menyeluruh terhadap seluruh bidang tanah yang diklaim, termasuk memetakan status kepemilikannya. Kedua, melakukan konversi resmi terhadap lahan yang terbukti masih berstatus eigendom agar menjadi hak milik atau hak guna sesuai ketentuan modern. Ketiga, membuka ruang mediasi publik antara warga dan pihak pengembang.
Kementerian juga berencana menetapkan sebagian area sebagai tanah negara dengan prioritas hak bagi warga lama, sementara area lain yang tidak dihuni dapat dikembangkan secara legal melalui mekanisme kerja sama pemerintah dan swasta.
Langkah ini diharapkan menjadi model penyelesaian nasional untuk kasus-kasus serupa di kota besar lain seperti Semarang, Bandung, dan Medan.
Bab IX: Pelajaran dari Kasus Darmo Hill
Kasus Darmo Hill memberikan pelajaran penting bahwa warisan hukum kolonial masih menjadi bom waktu di sektor pertanahan. Banyak wilayah di Indonesia masih menyimpan eigendom verponding atau surat kepemilikan lama yang tidak pernah dikonversi, menyebabkan tumpang tindih hak yang rumit diselesaikan puluhan tahun kemudian.
Pemerintah pusat kini menyadari pentingnya kebijakan konversi nasional berbasis data digital. Dalam Rencana Strategis Kementerian ATR/BPN 2025–2030, disebutkan target konversi total lahan bekas eigendom menjadi hak nasional sepenuhnya. Darmo Hill disebut sebagai "kasus prioritas nasional".
Bab X: Menuju Titik Terang
Pada September 2025, Kementerian ATR/BPN mengumumkan bahwa tahap akhir penyelesaian lahan Darmo Hill akan dimulai. Pemerintah akan menata ulang status kepemilikan, dengan sebagian besar lahan ditetapkan sebagai tanah negara yang dikelola untuk permukiman rakyat, dan sebagian kecil diberikan hak pengelolaan terbatas kepada pengembang yang memenuhi kriteria hukum.
"Negara hadir untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga. Tidak ada lagi tanah yang menjadi sumber konflik turun-temurun," ujar Menteri ATR/BPN dalam keterangan resminya.
Bagi warga Darmo Hill, kabar itu menjadi harapan baru setelah puluhan tahun hidup dalam ketidakpastian. "Kami hanya ingin tenang, punya sertifikat resmi, dan tahu bahwa rumah ini benar-benar milik kami," kata Siti Rahma dengan mata berkaca-kaca.
---
Epilog
Kasus Darmo Hill bukan sekadar sengketa lahan, melainkan cermin sejarah panjang Indonesia dalam menata ulang warisan kolonial. Pemerintah, warga, dan dunia hukum kini dihadapkan pada satu tantangan utama: memastikan bahwa tanah—sebagai sumber kehidupan—tidak lagi menjadi sumber konflik, melainkan dasar keadilan sosial yang sejati.
Jika langkah penyelesaian dari kementerian benar-benar terealisasi, maka Darmo Hill akan menjadi simbol perubahan—dari tumpang tindih masa lalu menuju kepastian hukum masa depan.