---
Polemik Lahan Eigendom Darmo Hill: Dari Warisan Kolonial hingga Langkah Kementerian Menuntaskan Sengketa Tanah di Jantung Surabaya
Bab 1. Jejak Panjang dari Masa Kolonial
Kawasan Darmo Hill di Surabaya mungkin dikenal publik sebagai salah satu kawasan elit yang rapi, tenang, dan penuh hunian mewah. Namun, di balik pagar tinggi dan jalan lebar itu, tersimpan kisah panjang sengketa tanah yang berakar lebih dari seabad lalu — sejak masa ketika Hindia Belanda masih berkuasa.
Pada awal 1900-an, wilayah Darmo dirancang sebagai Darmo Estate, kawasan hunian modern bagi warga Belanda. Pemerintah kolonial menetapkan sistem kepemilikan tanah yang disebut eigendom verponding — hak milik absolut berdasarkan hukum Eropa. Setiap pemilik memiliki surat ukur dan nomor verponding, yang tercatat di Kadaster Belanda di Batavia.
Namun ketika Indonesia merdeka, sistem agraria berubah drastis. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menyatakan semua sistem kolonial harus dikonversi menjadi sistem nasional: Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai. Hanya saja, banyak pemilik eigendom telah meninggalkan Indonesia, dan proses konversi tidak pernah dilakukan.
Tanah Darmo Hill adalah salah satunya. Dokumen kepemilikan lama tetap tersimpan di arsip kolonial, sementara di lapangan, tanah tersebut beralih tangan dari waktu ke waktu — dari pengembang, ke perorangan, hingga menjadi pemukiman padat.
"Ini masalah klasik warisan kolonial yang tidak pernah benar-benar selesai. Dokumen lama masih diakui secara historis, tapi secara administratif sudah tak relevan," ujar Dr. Bambang Rukmana, pakar hukum agraria dari Universitas Airlangga.
---
Bab 2. Konflik Muncul ke Permukaan
Ketegangan di Darmo Hill mulai mencuat kembali pada 2017, ketika sekelompok ahli waris dari keluarga keturunan Eropa mengklaim memiliki hak sah atas sebagian lahan di kawasan tersebut. Mereka menunjukkan bukti berupa salinan arsip verponding bernomor 1234, lengkap dengan peta kadaster lama.
Sementara itu, di lokasi yang sama, berdiri perumahan modern dengan puluhan rumah mewah dan beberapa kompleks ruko. Para penghuni mengantongi sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya pada dekade 1980–1990-an.
Kedua pihak kemudian saling melapor. Pihak ahli waris mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya, menuding sertifikat warga terbit di atas tanah berstatus eigendom yang belum dikonversi. Sementara warga menegaskan mereka membeli lahan dari pengembang resmi yang memiliki izin lokasi dan bukti pembayaran pajak.
"Bagaimana mungkin kami disebut menempati tanah orang lain, padahal semua legal dan kami bayar pajak setiap tahun," kata Siti Maimunah, salah satu warga Darmo Hill yang telah tinggal di sana sejak 1992.
Seiring proses hukum berjalan, media mulai menyoroti kasus ini. Foto-foto rumah mewah berdiri di atas tanah sengketa menjadi viral di media lokal. BPN dan Pemerintah Kota Surabaya pun didesak turun tangan.
---
Bab 3. Sikap Pemerintah Daerah: Menunggu Kepastian Pusat
Pemkot Surabaya berada di posisi sulit. Di satu sisi, mereka harus melindungi hak warga yang telah menempati dan membayar pajak. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa mengabaikan klaim hukum yang diajukan ahli waris.
"Kami tidak bisa bertindak tanpa dasar hukum yang jelas. Semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan," ujar Wali Kota Surabaya saat itu dalam sebuah pernyataan resmi.
BPN Surabaya kemudian melakukan verifikasi internal terhadap dokumen pertanahan di Darmo Hill. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian sertifikat memang terbit di atas lahan yang dulunya tercatat sebagai eigendom verponding. Namun belum ada bukti kuat bahwa hak lama itu masih berlaku secara hukum.
Karena kasusnya bersifat historis dan melibatkan arsip kolonial, BPN daerah kemudian melaporkan ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta. Dari sinilah intervensi pemerintah pusat dimulai.
---
Bab 4. Langkah Kementerian: Audit Nasional dan Mediasi Resmi
Awal tahun 2025 menjadi titik balik penting. Kementerian ATR/BPN menempatkan sengketa Darmo Hill sebagai salah satu kasus prioritas nasional bidang pertanahan.
Tim khusus dibentuk, terdiri atas Direktorat Sengketa dan Konflik Pertanahan Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kanwil BPN Jawa Timur, serta akademisi dari Universitas Airlangga.
Mereka melakukan audit yuridis dan fisik. Audit yuridis menelusuri dokumen kolonial hingga tahun 1939, sedangkan audit fisik menggunakan teknologi pengukuran geospasial modern untuk mencocokkan batas tanah lama dan kondisi terkini.
"Dalam kasus ini, peta kolonial dan peta digital modern harus disatukan. Kami menemukan ada beberapa bidang yang bergeser akibat pembangunan dan perubahan tata kota," ungkap Herlambang Setiawan, Direktur Sengketa ATR/BPN.
Tahap berikutnya adalah mediasi nasional. Pemerintah mengundang seluruh pihak — warga, pengembang, ahli waris, dan Pemkot Surabaya — untuk duduk satu meja. Tujuannya mencari solusi damai tanpa menimbulkan penggusuran atau kerugian sosial.
---
Bab 5. Asas Keadilan Sosial: Menemukan Titik Tengah
Menurut Kementerian ATR/BPN, penyelesaian tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dokumen kolonial. Negara harus hadir sebagai penyeimbang antara kepemilikan historis dan hak sosial masyarakat.
"UUPA tahun 1960 menegaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Artinya, meski seseorang memiliki bukti historis, bila tanah itu sudah lama dikuasai masyarakat dan dimanfaatkan produktif, negara harus melindungi kepentingan publik," jelas Menteri ATR/BPN dalam rapat kerja di Jakarta.
Dalam mediasi, muncul gagasan konsolidasi lahan sukarela, di mana ahli waris dapat diberikan kompensasi atas sebagian tanah yang secara historis diakui, sementara warga dan pengembang tetap memiliki hak atas lahan yang sudah ditempati. Sebagai gantinya, ahli waris dapat memperoleh kompensasi berupa penggantian tanah di lokasi lain atau nilai finansial tertentu melalui mekanisme resmi.
Pemerintah juga mempertimbangkan redistribusi tanah negara jika sebagian bidang terbukti tak lagi memiliki pemilik sah. Mekanisme ini akan menggunakan dasar hukum reforma agraria dan dilakukan secara bertahap dengan pengawasan BPN.
---
Bab 6. Dampak Sosial dan Ekonomi
Ketidakpastian status tanah Darmo Hill menimbulkan efek domino di sektor ekonomi. Beberapa warga kesulitan mengajukan pinjaman ke bank karena sertifikat mereka dianggap "berisiko tinggi." Beberapa proyek renovasi dan pengembangan properti di sekitar kawasan pun tertunda.
"Nilai jual tanah turun, bahkan ada yang batal membeli rumah setelah tahu kawasan ini masih bersengketa," ujar Aditya Prasetyo, seorang agen properti lokal.
Bagi Pemkot Surabaya, kondisi ini juga berdampak pada tata ruang kota. Beberapa fasilitas umum seperti taman, jalan lingkungan, dan saluran drainase belum bisa diserahkan secara resmi karena status kepemilikan belum jelas.
Sementara itu, di sisi sosial, warga merasa cemas dengan isu penggusuran. "Kami hanya ingin kepastian hukum tanpa harus kehilangan rumah yang sudah kami bangun dari nol," kata Rachman, warga Darmo Hill lainnya.
---
Bab 7. Dimensi Hukum: Celah di antara Dua Dunia
Ahli hukum agraria menilai kasus Darmo Hill mencerminkan benturan dua rezim hukum: sistem kolonial (eigendom verponding) dan sistem agraria nasional (UUPA).
Dalam hukum kolonial, hak eigendom adalah kepemilikan absolut yang tidak dapat dibatasi, sedangkan dalam UUPA, semua tanah memiliki fungsi sosial dan berada di bawah penguasaan negara.
"Jika tidak ada konversi dalam jangka waktu tertentu setelah UUPA, maka hak eigendom itu gugur dan tanah kembali menjadi milik negara. Namun, di banyak kasus, data konversi tidak lengkap, sehingga timbul ruang abu-abu seperti di Darmo Hill," jelas Dr. Bambang Rukmana.
Ia menambahkan bahwa solusi hukum harus memperhitungkan prinsip kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. "Tidak bisa hanya berdasarkan siapa yang punya dokumen tertua, tapi juga siapa yang memanfaatkan dan menjaga tanah itu selama puluhan tahun."
---
Bab 8. Proses Panjang Menuju Titik Terang
Setelah beberapa bulan audit dan mediasi, tim kementerian mulai menemukan peta besar kasus ini. Dari sekitar 36 hektare lahan yang disengketakan, sekitar 60 persen telah teridentifikasi memiliki sertifikat sah hasil konversi, 25 persen berstatus tanah negara bekas eigendom, dan sisanya masih dalam proses verifikasi arsip.
Kementerian berencana mengeluarkan Surat Keputusan Menteri ATR/BPN untuk menetapkan status hukum akhir. Dokumen itu nantinya akan menjadi dasar bagi penerbitan ulang sertifikat baru, penataan tata ruang, dan legalisasi aset pemerintah daerah.
Langkah ini disambut positif oleh banyak pihak. Warga berharap keputusan tersebut benar-benar berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
"Yang penting, kami ingin negara hadir secara adil. Jangan sampai yang lemah dikorbankan," ujar Siti Maimunah.
---
Bab 9. Harapan dan Tantangan ke Depan
Meski pemerintah pusat sudah turun tangan, perjalanan penyelesaian Darmo Hill masih panjang. Banyak arsip kolonial yang rusak atau hilang, dan proses mediasi memerlukan waktu karena melibatkan banyak pihak.
Namun, banyak pihak percaya bahwa langkah ini merupakan momentum penting. Pemerintah menunjukkan keseriusan menyelesaikan konflik agraria perkotaan yang selama ini kerap diabaikan.
"Darmo Hill bisa jadi preseden hukum nasional. Jika berhasil, ini akan membuka jalan bagi penyelesaian ribuan hektare tanah eigendom lain di Indonesia," kata Dr. Rukmana.
---
Bab 10. Epilog: Tanah, Sejarah, dan Keadilan
Sengketa Darmo Hill adalah gambaran nyata bagaimana sejarah kolonial masih meninggalkan jejak panjang dalam tata kelola tanah Indonesia. Di atas tanah yang dulunya milik penjajah, kini berdiri rumah warga, tempat anak-anak bersekolah, dan bisnis tumbuh.
Menyelesaikan kasus ini berarti bukan hanya mengurai tumpukan dokumen hukum, tetapi juga mengembalikan rasa keadilan. Negara dituntut hadir, bukan sekadar sebagai penengah, tetapi sebagai pelindung bagi mereka yang hidup di atas warisan masa lalu.
Dalam sebuah wawancara singkat, seorang warga menutup dengan kalimat yang menggugah:
> "Kami tidak ingin menang atau kalah. Kami hanya ingin hidup di tanah yang sah, tanpa takut digusur, tanpa bayangan masa lalu."
Kini, bola berada di tangan pemerintah pusat. Bila audit dan mediasi nasional benar-benar tuntas, Darmo Hill bisa menjadi contoh nyata bahwa Indonesia mampu menyelesaikan warisan kolonial dengan cara beradab, adil, dan berpihak pada rakyat.
Dan dari Surabaya, sebuah bab baru tentang reforma agraria berkeadilan pun dimulai.