Dari Warisan Kolonial hingga Langkah Kementerian Menuntaskan Sengketa Tanah di Jantung Surabaya- Polemik Lahan Eigendom Darmo Hill


---

Polemik Lahan Eigendom Darmo Hill: Dari Warisan Kolonial hingga Langkah Kementerian Menuntaskan Sengketa Tanah di Jantung Surabaya

Bab I – Jejak Panjang Warisan Kolonial di Tanah Darmo

Di tengah gemerlap pembangunan kawasan elit Surabaya Selatan, terselip kisah lama yang tak kunjung usai: sengketa lahan eigendom di kawasan Darmo Hill. Tanah ini bukan sekadar sebidang properti di jantung kota, melainkan simbol dari persoalan agraria yang menembus lintas zaman — dari masa kolonial Belanda hingga Indonesia modern.

Darmo Hill awalnya merupakan bagian dari wilayah perkebunan besar yang dikelola perusahaan swasta Belanda pada awal abad ke-20. Status tanahnya kala itu dikenal sebagai eigendom verponding, yaitu hak milik penuh berdasarkan hukum kolonial, yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, status ini mengalami pergeseran hukum yang rumit: sebagian diambil alih oleh negara, sebagian tetap tercatat atas nama individu atau badan hukum kolonial.

Namun di tengah perubahan hukum tanah pasca-1945, banyak bidang tanah eigendom yang tak pernah dikonversi menjadi hak milik nasional sesuai amanat UUPA 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria). Inilah sumber kekacauan administratif yang kini meledak di Darmo Hill: tumpang tindih sertifikat, klaim waris, hingga dugaan jual beli ilegal oleh pihak ketiga.

Bab II – Ketika Dokumen Lama Bangkit dari Arsip

Kasus ini mulai kembali mencuat ke publik pada awal 2024, ketika sekelompok warga melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya terkait penguasaan tanah seluas 12 hektare di kawasan Darmo Hill yang kini berdiri kompleks perumahan mewah dan fasilitas komersial.

"Tanah itu bukan tanah bebas, masih terdaftar sebagai eigendom atas nama keluarga Belanda yang dulu tinggal di Darmo," ujar Riyanto Pramono, kuasa hukum para penggugat, kepada wartawan.

Menurutnya, dokumen peninggalan kolonial berupa Verponding Register No. 1312/Darmo, yang ditemukan di Arsip Nasional dan disahkan notaris pada 1939, menunjukkan bahwa hak atas tanah tersebut belum pernah dikonversi sesuai UUPA. "Artinya, secara hukum, negara belum pernah menghapus atau menetapkan status baru atas tanah itu," lanjutnya.

Namun versi pemerintah berbeda. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan bahwa sebagian besar tanah Darmo Hill telah dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1980-an, dan banyak yang telah diperpanjang oleh pengembang.

"Kami sudah memeriksa data yuridis. Memang ada catatan eigendom lama, tapi status hukum yang berlaku saat ini adalah hak atas tanah modern sesuai sistem nasional," kata Dirjen Pengendalian dan Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Agus Santoso, dalam konferensi pers di Jakarta, Mei 2025.

Namun demikian, Kementerian mengakui adanya celah hukum dan data ganda, terutama di tanah-tanah hasil konversi lama yang tidak tuntas. Di sinilah polemik Darmo Hill menjadi ujian serius bagi sistem pertanahan Indonesia.

Bab III – Jejak Pengembang dan Perubahan Tata Ruang

Pada era 1990-an, kawasan Darmo Hill berkembang pesat menjadi kawasan hunian premium di Surabaya. Pengembang besar masuk dengan membawa modal, membangun perumahan, kantor, dan fasilitas gaya hidup. Namun di balik megahnya gedung-gedung tinggi, sejumlah warga lama mengaku kehilangan lahan tanpa proses yang jelas.

"Saya masih punya peta tanah dari bapak saya, tahun 1956. Waktu itu tanah ini masih sawah. Tiba-tiba setelah tahun 2000-an, sudah berdiri rumah-rumah besar," tutur Suharto (72), warga asli Darmo Lama.

Suharto dan beberapa keluarga lainnya mengklaim tidak pernah menjual tanah itu, meski sertifikat atas nama mereka tiba-tiba tak terdaftar lagi di kantor pertanahan. Mereka menduga ada praktik jual beli dokumen antara makelar tanah dan oknum pejabat lokal pada masa itu.

Penelusuran lapangan oleh tim jurnalis independen menemukan sejumlah dokumen yang menunjukkan perubahan mendadak atas peta bidang tanah Darmo Hill di awal 2000-an. Dalam satu tahun, beberapa bidang yang sebelumnya berstatus "tanah negara bebas" berubah menjadi HGB atas nama badan usaha tertentu.

"Ini yang kami sebut anomali administratif. Ada tanda tangan pejabat yang tak lagi bertugas pada waktu itu," ujar Dr. Hadi Kurniawan, pakar hukum agraria Universitas Airlangga. "Kalau memang benar ada peralihan hak dengan prosedur tidak sah, maka sertifikat berikutnya bisa dinyatakan cacat hukum."

Bab IV – Ketika Kementerian Turun Tangan

Kisruh berkepanjangan ini akhirnya menarik perhatian pemerintah pusat. Kementerian ATR/BPN bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Pemkot Surabaya membentuk Tim Gabungan Penanganan Sengketa Darmo Hill pada Juli 2025.

Dalam siaran resminya, Menteri ATR/BPN menegaskan:

> "Negara tidak boleh kalah oleh kekacauan administrasi kolonial. Tetapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap hak-hak masyarakat yang sah. Pemerintah akan menelusuri setiap dokumen, dari arsip kolonial hingga sertifikat modern."



Tim gabungan ini bekerja di dua jalur: audit yuridis dan verifikasi fisik lapangan. Audit yuridis mencakup pemeriksaan register eigendom lama, arsip verponding, serta buku tanah lama. Sementara verifikasi lapangan memastikan siapa yang menguasai, membangun, dan membayar pajak atas lahan tersebut selama 30 tahun terakhir.

Dalam prosesnya, ditemukan fakta menarik: sekitar 2,4 hektare dari total lahan yang disengketakan ternyata belum pernah diterbitkan sertifikat konversi resmi. Bahkan sebagian besar masih tercatat dalam arsip kolonial sebagai tanah dengan status eigendom tanpa tindak lanjut.

Bab V – Persinggungan Kepentingan dan Nilai Ekonomi Raksasa

Mengapa kasus ini begitu rumit dan sensitif? Jawabannya sederhana: nilai tanah di Darmo Hill luar biasa besar. Berdasarkan data pasar properti 2025, harga tanah di kawasan ini mencapai Rp35–50 juta per meter persegi. Jika dikalikan dengan luas total 12 hektare, nilai ekonominya bisa menembus lebih dari Rp5 triliun.

Tak heran jika setiap pihak berjuang keras mempertahankan klaimnya. Bagi warga lama, ini soal warisan keluarga dan keadilan. Bagi pengembang, ini soal kepastian hukum investasi. Sementara bagi pemerintah, ini soal kredibilitas negara dalam menuntaskan warisan kolonial yang belum beres.

Beberapa sumber internal di lingkungan Pemkot menyebutkan, sejumlah proyek pengembangan lanjutan di kawasan itu sempat ditunda akibat ketidakpastian status hukum tanah. Investor asing yang semula berminat pun memilih menunggu keputusan final dari Kementerian.

"Ini bukan sekadar sengketa, tapi soal tata kelola tanah nasional," ujar Ir. Satrio Widjaya, pejabat ATR/BPN wilayah Jawa Timur. "Bila kasus ini berhasil diselesaikan, akan menjadi preseden penting untuk ribuan tanah eks-eigendom lain di Indonesia."

Bab VI – Mengurai Benang Kusut Hukum Agraria

Menurut data Kementerian ATR, terdapat lebih dari 1.800 bidang tanah eigendom verponding di seluruh Indonesia yang belum dikonversi secara sah. Banyak di antaranya terletak di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

"Masalahnya, hukum agraria kolonial dan hukum nasional tidak sepenuhnya kompatibel," jelas Prof. Retno Puspita, ahli agraria dari UGM. "Pada masa transisi, banyak tanah yang statusnya menggantung karena tidak diurus pemilik lama dan tidak diambil alih negara secara resmi."

UUPA 1960 sebenarnya memberi waktu 20 tahun untuk mengonversi seluruh tanah eigendom menjadi hak milik atau hak guna. Namun lemahnya dokumentasi dan perubahan administrasi menyebabkan banyak yang lolos dari pendataan.

Dalam konteks Darmo Hill, kompleksitas ini ditambah dengan adanya perubahan tata ruang kota, di mana area lama kini telah menjadi kawasan komersial. Akibatnya, upaya penertiban hukum tidak sekadar soal siapa pemilik, tetapi juga soal siapa yang punya itikad baik dan bukti penguasaan nyata.

Bab VII – Arah Penyelesaian dan Mediasi Nasional

Hingga Oktober 2025, tim kementerian telah memverifikasi lebih dari 80 dokumen lama dan 25 sertifikat modern di kawasan Darmo Hill. Hasil sementara menunjukkan ada enam bidang tanah bermasalah yang kini masuk tahap mediasi nasional.

Kementerian ATR menggandeng Komnas HAM dan Ombudsman RI agar penyelesaian dilakukan secara transparan. Mediasi ini juga membuka ruang bagi warga yang memiliki bukti kuat untuk mengajukan pengakuan hak melalui jalur administratif, bukan litigasi.

"Kita tidak ingin semua orang ke pengadilan. Kita ingin selesaikan secara musyawarah dengan dasar hukum yang sah," ujar Menteri ATR, dalam wawancara eksklusif di Jakarta.

> "Jika ada pelanggaran administratif, kita koreksi. Jika ada mafia tanah, kita serahkan ke penegak hukum."



Sementara itu, Pemkot Surabaya juga berkomitmen mendukung langkah pemerintah pusat. Wali Kota Surabaya bahkan membentuk posko layanan klarifikasi publik agar warga bisa melaporkan data tanah mereka yang tumpang tindih di wilayah Darmo dan sekitarnya.

Bab VIII – Harapan di Tengah Ketegangan

Bagi warga yang telah lama tinggal di kawasan tersebut, langkah Kementerian membawa harapan baru. Mereka ingin agar pemerintah tak hanya menyelesaikan sengketa hukum, tapi juga memberi kepastian sosial dan kemanusiaan.

"Selama 20 tahun kami hidup dalam ketakutan. Tiap kali ada surat tanah, kami takut digusur," kata Suharto, dengan mata berkaca-kaca. "Kalau memang tanah ini milik negara, kami rela. Tapi tolong jangan diam saja."

Bagi pemerintah, kasus Darmo Hill menjadi simbol reformasi agraria yang sesungguhnya: bukan hanya membagikan sertifikat, tetapi membenahi sejarah hukum tanah agar generasi berikutnya tak lagi mewarisi sengketa yang sama.


---

Penutup – Dari Darmo Hill ke Masa Depan Agraria Indonesia

Sengketa lahan eigendom Darmo Hill memperlihatkan wajah kompleks dari hukum tanah Indonesia — antara arsip kolonial yang belum tertutup, hukum nasional yang terus bertransformasi, dan kepentingan ekonomi modern yang berkelindan.

Langkah Kementerian ATR/BPN untuk menuntaskan kasus ini tidak hanya menyentuh aspek legal, tapi juga menguji komitmen negara terhadap keadilan agraria. Bila Darmo Hill dapat diselesaikan secara tuntas dan adil, maka ia bisa menjadi model penyelesaian tanah eks-kolonial nasional.

"Ini bukan hanya soal Surabaya," ujar Prof. Retno menutup perbincangan. "Ini tentang sejarah Indonesia yang belum selesai. Dan mungkin, Darmo Hill adalah bab terakhir dari cerita panjang tanah kolonial di negeri merdeka."


---



PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI

PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI - JUAL BELI BLOG - JUAL BLOG UNTUK KEPERLUAN DAFTAR ADSENSE - BELI BLOG BERKUALITAS - HUBUNGI KAMI SEGERA

Post a Comment

Support By Yahoo!
Support By Bing

Previous Post Next Post