---
Sengketa Lahan 224 Hektare di Surabaya Memanas — Anggota DPR-RI Adies Kadir Geram: "Negara Jangan Kalah dari Mafia Tanah"
Sengketa lahan raksasa seluas 224 hektare di Kota Surabaya kembali mencuat dan memicu perhatian publik. Kasus yang telah berlangsung puluhan tahun ini kini memasuki babak baru setelah muncul berbagai bukti baru, dugaan manipulasi dokumen, hingga indikasi kuat adanya mafia tanah yang bermain di balik layar.
Anggota DPR-RI Adies Kadir, yang juga merupakan wakil rakyat daerah pemilihan Surabaya–Sidoarjo, menyatakan kegeramannya atas lambannya penanganan sengketa yang dinilainya sudah sangat merugikan masyarakat.
> "Negara tidak boleh kalah dari mafia tanah. Ini sudah terlalu lama. Masyarakat butuh kepastian hukum, bukan janji," ujar Adies di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
---
🌍 Awal Mula Konflik: Dari Tanah Negara Jadi Rebutan
Sengketa ini berawal dari tahun 1988, ketika sebagian wilayah di Surabaya Timur dan Selatan — yang dulunya berupa tanah negara tidak produktif — mulai digarap oleh warga. Mereka membuka lahan, menata kawasan, bahkan membangun rumah sederhana. Sebagian besar warga memiliki bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak 1990-an.
Namun pada awal tahun 2000-an, muncul sejumlah klaim kepemilikan baru. Seorang pengembang besar mengklaim telah membeli tanah di area yang sama dari pihak yang mengaku sebagai ahli waris pemilik lama. Klaim tersebut disertai sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Masalahnya, sebagian warga juga memiliki dokumen kepemilikan yang berbeda. Tumpang tindih sertifikat pun terjadi. BPN Surabaya mencatat bahwa terdapat lebih dari 200 sertifikat yang saling menimpa di area yang sama.
---
⚖️ Kronologi Panjang: Tiga Dekade Tanpa Kepastian
📅 1988–1998
Masyarakat membuka dan mengelola lahan bekas rawa di kawasan Surabaya Timur. Sebagian membangun rumah, sebagian lain menanam tanaman produktif. Pemerintah daerah saat itu tidak mengeluarkan larangan karena lahan dianggap tidak berstatus jelas.
📅 1999–2005
Muncul pihak swasta yang mengklaim telah memiliki surat jual beli dan hak milik sah. Beberapa di antaranya mengantongi surat dari notaris. Pada periode ini mulai muncul sertifikat ganda, dan konflik kecil antara warga dan pihak swasta tak terhindarkan.
📅 2006–2015
Kasus mulai dilaporkan ke BPN dan ke pengadilan. Namun, proses berjalan lamban karena dokumen lama sulit diverifikasi. Sebagian lahan mulai diklaim pengembang untuk proyek perumahan dan komersial.
📅 2016–2023
Pemerintah kota Surabaya mulai menata ulang tata ruang wilayah (RTRK). Sebagian area masuk rencana pembangunan fasilitas umum, sebagian lagi dikategorikan sebagai wilayah potensial investasi. Di sisi lain, protes warga makin meningkat, bahkan sempat terjadi aksi penolakan di lapangan.
📅 2024–2025
Muncul temuan baru dari kalangan akademisi dan aktivis pertanahan bahwa ada dugaan rekayasa dokumen dan intervensi oknum dalam proses penerbitan sertifikat. Kasus ini pun kembali mendapat perhatian publik dan DPR-RI.
---
💢 Suara Warga: Hidup di Tengah Ketidakpastian
Bagi warga yang tinggal di atas lahan tersebut, persoalan ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi soal masa depan keluarga. Mereka sudah hidup di sana selama puluhan tahun, membayar pajak, dan bahkan memiliki izin lingkungan.
Seorang warga, Sutarmi (62), menceritakan:
> "Kami di sini sejak 1985. Tanah ini dulu rawa. Kami garap sendiri, bangun rumah sedikit-sedikit. Sekarang dibilang bukan milik kami. Padahal kami yang rawat dari nol."
Ada pula Bambang (47), yang mengaku pernah diancam akan digusur paksa:
> "Kami dikirimi surat pengosongan. Katanya kami menempati tanah pengembang. Tapi waktu ditanya mana bukti awalnya, mereka nggak bisa tunjukkan dengan jelas."
Situasi seperti ini membuat warga resah. Sebagian tetap bertahan, sebagian lain mulai mencari perlindungan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya.
---
🚨 Adies Kadir Turun Tangan: "Harus Ada Audit Forensik Pertanahan"
Melihat konflik yang makin melebar, Anggota DPR-RI Adies Kadir menegaskan pentingnya audit forensik terhadap seluruh dokumen pertanahan yang terkait. Ia menilai BPN tidak bisa lagi hanya berdalih soal arsip lama atau perbedaan data.
> "Kalau sertifikat ganda bisa terbit, berarti ada yang salah di dalam sistem. Kita tidak bisa biarkan ini terus terjadi," ujarnya.
Adies juga meminta agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Kepolisian, serta Kejaksaan membentuk tim investigasi lintas instansi. Menurutnya, kasus ini sudah memenuhi indikasi tindak pidana pemalsuan dokumen negara dan penyalahgunaan wewenang.
> "Mafia tanah itu bukan orang kecil. Biasanya mereka punya jaringan kuat, dari notaris sampai pejabat daerah. Kalau tidak dibongkar dari atas, masalahnya tidak akan selesai," tegasnya.
---
🕵️♂️ Dugaan Adanya Mafia Tanah
Aktivis pertanahan dari Koalisi Warga Surabaya Bersatu, R. Pranoto, menuturkan bahwa pola permainan mafia tanah selalu sama. Mereka mencari celah di lahan-lahan yang status hukumnya lemah, lalu membuat dokumen jual-beli palsu atau memanfaatkan nama ahli waris lama yang sudah tidak aktif.
> "Begitu dokumen itu keluar, mereka bisa ajukan sertifikat baru. Kalau sudah jadi SHM, posisi masyarakat kecil langsung lemah di mata hukum," ujarnya.
Menurutnya, nilai ekonomi lahan seluas 224 hektare di kawasan Surabaya Timur bisa mencapai lebih dari Rp 6 triliun jika dihitung berdasarkan harga pasar saat ini. Angka fantastis ini menjadi alasan utama mengapa banyak pihak mencoba "bermain" di balik kasus tersebut.
---
🏙️ Pandangan Pemerintah Kota Surabaya
Pemerintah Kota Surabaya memilih langkah hati-hati. Dalam pernyataan resminya, pejabat Pemkot menegaskan bahwa tidak akan melakukan penggusuran atau pembangunan baru di area yang masih bersengketa.
> "Kami tidak ingin salah langkah. Kami tunggu keputusan hukum tetap. Prinsipnya, kepentingan warga harus dilindungi," ujar Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Surabaya.
Namun, Pemkot juga menyebut bahwa sebagian lahan tersebut memang masuk dalam rencana tata ruang jangka panjang untuk fasilitas publik dan perumahan vertikal, sehingga kejelasan statusnya sangat mendesak.
---
⚙️ Dampak Sosial dan Ekonomi
Sengketa lahan ini tak hanya menimbulkan keresahan sosial, tapi juga menghambat laju ekonomi lokal. Investor properti yang semula tertarik membangun kawasan bisnis di sekitar area tersebut kini memilih menunda proyek.
> "Bagi kami, lahan bermasalah itu risiko tinggi. Tanpa kejelasan hukum, kami tidak berani masuk," ujar seorang pengusaha properti di Surabaya yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, warga yang menggantungkan hidup dari usaha kecil di wilayah itu juga ikut terdampak. Sebagian tidak bisa memperluas usaha karena status tanah belum jelas, sebagian lagi kehilangan akses kredit karena sertifikat mereka diragukan bank.
---
📑 Analisis Hukum: Celah Lama yang Masih Terbuka
Pakar hukum agraria dari Universitas Airlangga, Dr. Taufik Hidayat, menjelaskan bahwa celah utama kasus semacam ini ada pada lemahnya digitalisasi data pertanahan nasional.
> "Masih banyak sertifikat lama yang belum masuk ke sistem digital. Kalau ada dua dokumen fisik yang mirip, sistem tidak bisa langsung mendeteksi," katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap oknum notaris dan pejabat yang terlibat dalam proses jual-beli bermasalah. "Kalau oknum dibiarkan, maka mafia tanah akan terus berkembang. Harus ada efek jera," ujarnya menegaskan.
---
🧭 Rencana Penyelesaian: Tim Terpadu dan Audit Nasional
Atas desakan publik dan DPR, pemerintah kini tengah mempersiapkan pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Sengketa Lahan Surabaya. Tim ini akan terdiri dari unsur:
ATR/BPN pusat dan daerah,
Pemkot Surabaya,
Kepolisian dan Kejaksaan,
Komisi III DPR-RI,
serta perwakilan masyarakat dan lembaga hukum independen.
Langkah pertama yang akan diambil adalah melakukan pemetaaan digital dan audit forensik terhadap seluruh sertifikat di kawasan seluas 224 hektare itu. Semua data akan disinkronkan dengan arsip lama di Kementerian Agraria.
> "Kita ingin semua terbuka. Tidak boleh ada yang disembunyikan. Kalau ada permainan, akan ketahuan," ujar Adies Kadir menegaskan komitmennya.
---
🔍 Adies: Negara Harus Hadir dan Melindungi
Sebagai anggota Komisi III DPR-RI, Adies Kadir mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak Kepolisian dan Kementerian ATR/BPN. Ia menegaskan bahwa DPR akan mengawal kasus ini sampai tuntas.
> "Kami akan panggil semua pihak. Tidak ada alasan untuk menunda. Negara harus hadir, apapun risikonya," katanya tegas.
Ia juga meminta masyarakat agar tidak takut melapor. "Kalau ada intimidasi atau ancaman, laporkan ke kami. Kami siap bantu melalui jalur hukum," tambahnya.
---
💬 Suara Akademisi dan Pengamat
Menurut pengamat sosial dari Universitas Negeri Surabaya, Dr. Siti Ambarwati, kasus ini menggambarkan paradoks antara pembangunan dan keadilan sosial.
> "Pembangunan kota besar seperti Surabaya tidak boleh mengorbankan rakyat kecil. Pemerintah harus menjamin bahwa modernisasi tidak dilakukan di atas penderitaan," ujarnya.
Ia menilai perlu dibuat kebijakan penataan ulang kepemilikan lahan berbasis kesejahteraan, bukan sekadar nilai ekonomi. "Tanah itu bukan hanya aset, tapi ruang hidup," tuturnya.
---
💸 Nilai Ekonomi dan Potensi Penyalahgunaan
Berdasarkan estimasi Badan Perencanaan Kota (Bappeko) Surabaya, lahan seluas 224 hektare itu memiliki nilai strategis luar biasa. Jika dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan komersial, potensi nilainya bisa mencapai Rp 8–10 triliun.
Angka ini membuka peluang besar bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk bermain. Dari situlah muncul indikasi persekongkolan antara pengembang, oknum pejabat, dan perantara hukum yang mencoba menguasai lahan tersebut melalui jalur legalitas semu.
---
🌱 Harapan Warga: Keadilan yang Nyata
Meski kasus ini masih berjalan, masyarakat berharap kehadiran Adies Kadir dan DPR bisa membawa perubahan nyata. Mereka ingin kepastian hukum, bukan sekadar janji politik.
> "Kami tidak minta banyak, cuma ingin diakui hak kami. Kami bukan penyerobot, kami yang bangun tempat ini dari nol," kata Sutarmi sambil menahan air mata.
LBH Surabaya juga menegaskan komitmennya untuk mendampingi warga hingga putusan hukum final. Mereka akan mendesak agar pemerintah tidak hanya melakukan audit administratif, tetapi juga memberi kompensasi dan perlindungan hukum kepada korban yang dirugikan.
---
⚡ Kesimpulan: Momentum untuk Bersih-Bersih
Sengketa lahan 224 hektare di Surabaya bukan sekadar kasus lokal. Ia menjadi cerminan carut-marut sistem pertanahan nasional, yang membuka peluang besar bagi mafia tanah dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus ini menunjukkan bahwa di balik pembangunan kota besar, masih ada masyarakat yang terpinggirkan karena lemahnya sistem hukum dan pengawasan.
Anggota DPR-RI Adies Kadir menutup dengan pernyataan keras:
> "Saya tidak ingin ini hanya jadi berita sesaat. Ini soal keadilan, soal masa depan Surabaya. Negara tidak boleh kalah dari mafia tanah — titik."
---
✍️ Catatan Akhir
Kini, semua mata tertuju pada langkah nyata pemerintah pusat, Kementerian ATR/BPN, dan DPR. Apakah sengketa lahan 224 hektare di Surabaya ini akan menjadi awal dari reformasi besar sistem pertanahan nasional, atau sekadar tambahan panjang daftar konflik agraria di Indonesia?
Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti — suara rakyat sudah terlalu lama ditahan. Kini saatnya negara benar-benar hadir di atas tanah yang dipijak rakyatnya sendiri.
---