---
Respon Gus Yahya Soal Santri Ikut Ngecor Bangunan Ponpes: Antara Tradisi, Edukasi, dan Keselamatan
Polemik seputar santri yang ikut bekerja membantu pembangunan fisik pondok pesantren kembali menjadi sorotan publik setelah munculnya beberapa kasus tragis, termasuk ambruknya mushala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo. Dalam peristiwa itu, beberapa santri dikabarkan ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan, yang kemudian memunculkan perdebatan tentang batas antara gotong royong dan eksploitasi tenaga santri.
Menanggapi hal tersebut, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) — Ketua Umum PBNU — memberikan penjelasan komprehensif yang menempatkan persoalan ini dalam konteks tradisi pesantren, pendidikan karakter, serta urgensi peningkatan standar keselamatan infrastruktur pesantren di seluruh Indonesia.
---
Tradisi Pesantren dan Nilai Gotong Royong
Menurut Gus Yahya, kegiatan santri ikut membantu pembangunan, seperti mengecor, mengangkat bahan bangunan, atau membersihkan area pondok, tidak bisa dipandang semata sebagai bentuk pekerjaan fisik, melainkan merupakan bagian dari tradisi khidmah di lingkungan pesantren.
> "Itu bukan eksploitasi. Santri ikut bantu karena merasa memiliki pesantrennya. Ini bagian dari pendidikan gotong royong dan pengabdian," ujar Gus Yahya, dikutip dari laman resmi NU Online.
Ia menegaskan, kegiatan semacam itu bukanlah kerja wajib atau menggantikan peran tenaga profesional. Para tukang tetap dipekerjakan untuk pekerjaan konstruksi utama, sementara keterlibatan santri hanya sebatas dukungan ringan dan simbol partisipasi moral.
Tradisi khidmah ini, kata Gus Yahya, sudah berlangsung turun-temurun di dunia pesantren. Santri diajarkan untuk turut berperan dalam menjaga dan membangun fasilitas pesantren yang menjadi rumah mereka selama menuntut ilmu. Dengan demikian, nilai yang ditanamkan bukanlah semata kerja fisik, melainkan rasa tanggung jawab, solidaritas, dan kepedulian terhadap lingkungan belajar.
---
Dimensi Edukasi: Bukan Eksploitasi
Bagi Gus Yahya, semangat gotong royong di pesantren mengandung nilai pendidikan karakter yang mendalam. Santri dilatih untuk tidak hanya belajar kitab dan ilmu agama, tetapi juga untuk hidup bersama dalam kebersamaan dan kepedulian sosial.
> "Santri ikut membantu membangun karena merasa itu rumahnya sendiri. Ini bagian dari latihan jiwa pengabdian, bukan untuk mencari keuntungan," tutur Gus Yahya.
Dengan demikian, ia menolak anggapan bahwa santri dimanfaatkan untuk pekerjaan berat tanpa kompensasi. Dalam tradisi pesantren, tidak ada paksaan; kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela dan dalam semangat kebersamaan.
Namun, Gus Yahya juga menekankan bahwa semangat kebersamaan itu tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan dan profesionalitas pembangunan. Setiap pembangunan harus tetap diawasi oleh tenaga ahli agar tidak menimbulkan bahaya bagi santri dan warga pesantren.
---
Musibah Al-Khoziny Sebagai Pelajaran Berharga
Tragedi ambruknya mushala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, menjadi titik balik dalam pembahasan ini. Gus Yahya menyebut peristiwa tersebut sebagai "puncak dari gunung es" permasalahan infrastruktur pesantren di Indonesia.
> "Musibah itu harus kita jadikan pelajaran bersama. Ini menunjukkan bahwa banyak pesantren di Indonesia yang masih membutuhkan perhatian serius soal bangunan dan keamanan," ungkapnya.
Menurutnya, banyak pesantren yang berkembang secara swadaya tanpa dukungan teknis dari tenaga ahli atau regulasi pembangunan yang ketat. Akibatnya, beberapa fasilitas dibangun dengan cara seadanya dan rawan terhadap kecelakaan.
Gus Yahya mengajak semua pihak — baik pemerintah, ormas Islam, maupun masyarakat — untuk berkolaborasi memperbaiki sistem pembangunan pesantren secara menyeluruh. Ia menilai bahwa pembangunan pesantren tidak boleh lagi dilakukan tanpa pengawasan teknis yang memadai.
> "Kita harus perjuangkan perbaikan sistemik. Jangan hanya memperbaiki yang roboh, tapi benahi sistem pembangunannya agar semua pesantren aman dan layak," tegasnya.
---
Standar Keselamatan dan Peran Pemerintah
Pernyataan Gus Yahya sejalan dengan pandangan sejumlah pemerhati pendidikan Islam yang menilai perlunya standar nasional untuk pembangunan pesantren, terutama yang melibatkan aktivitas konstruksi besar.
Banyak pondok pesantren berdiri di daerah pedesaan dengan dana terbatas, mengandalkan donasi dan gotong royong masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, sering kali aspek teknis, seperti kekuatan struktur bangunan, sistem drainase, atau material konstruksi, kurang diperhatikan.
Karenanya, Gus Yahya menekankan pentingnya kemitraan antara pesantren dan pemerintah dalam penyediaan pendampingan teknis, pelatihan, serta pengawasan konstruksi. Ia juga mendorong agar lembaga seperti Kementerian PUPR dan Kementerian Agama membuat program khusus peningkatan kualitas bangunan pesantren.
> "Ini bukan hanya tanggung jawab pesantren, tapi tanggung jawab bangsa. Pesantren adalah aset nasional yang harus dijaga," ujarnya.
---
Gotong Royong yang Aman dan Bermartabat
Meskipun Gus Yahya menegaskan bahwa santri yang ikut membantu pembangunan bukanlah bentuk eksploitasi, namun ia tetap menyerukan agar kegiatan tersebut tidak dilakukan tanpa pertimbangan keamanan. Santri tetaplah pelajar yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan selama menempuh pendidikan.
Dalam konteks ini, para pengasuh pesantren diharapkan untuk:
1. Menentukan batas jelas antara kerja bakti ringan dan pekerjaan konstruksi berat.
2. Mengawasi kegiatan agar sesuai usia dan kemampuan santri.
3. Mengedukasi santri tentang keselamatan kerja.
4. Melibatkan tenaga profesional dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti pengecoran atau pembangunan struktur bertingkat.
Dengan cara itu, nilai-nilai khidmah dan gotong royong tetap terjaga tanpa mengorbankan keselamatan atau hak-hak santri.
---
Refleksi: Menghidupkan Nilai, Memperkuat Sistem
Respon Gus Yahya mencerminkan pendekatan yang bijak dan seimbang: mempertahankan nilai-nilai luhur pesantren sambil mengakui perlunya pembenahan struktural. Gotong royong tetap menjadi roh kehidupan pesantren, tetapi pembangunan modern menuntut penerapan prinsip keselamatan dan profesionalitas.
Peristiwa Al-Khoziny menjadi cermin bagi seluruh bangsa bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga bagian dari wajah pendidikan nasional yang harus dijaga kualitas dan keamanannya.
Sebagaimana ditegaskan Gus Yahya, pendidikan yang bermartabat harus berjalan beriringan dengan fasilitas yang aman dan manusiawi. Santri boleh belajar tentang keikhlasan dan pengabdian, tetapi negara dan masyarakat wajib memastikan bahwa setiap pengabdian dilakukan dalam kondisi yang layak dan terlindungi.
---
Kesimpulan:
Respon Gus Yahya menegaskan bahwa keterlibatan santri dalam pembangunan pesantren merupakan bagian dari tradisi positif selama dilakukan secara sukarela, terarah, dan aman. Namun, tragedi yang terjadi menjadi alarm penting agar seluruh pihak bekerja sama memperbaiki sistem pembangunan pesantren. Spirit gotong royong harus tetap hidup, tetapi dengan pengawasan teknis dan regulasi yang menjamin keselamatan seluruh santri.
---