Dilema Perangkat Desa Lolos PPPK Paruh Waktu: Antara Pengabdian dan Peluang Karier
Pendahuluan
Di tengah semangat pemerintah memperluas kesempatan kerja melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), muncul fenomena menarik sekaligus dilematis: banyak perangkat desa yang dinyatakan lolos seleksi PPPK. Situasi ini menimbulkan perdebatan di berbagai daerah — mulai dari ruang kantor desa, grup WhatsApp perangkat, hingga forum pemerintahan kabupaten.
Dilema tersebut tidak sederhana, karena di satu sisi perangkat desa adalah ujung tombak pemerintahan, sedangkan di sisi lain, menjadi PPPK dianggap sebagai peningkatan status karier dan kesejahteraan.
Pertanyaannya: apakah seseorang dapat tetap menjadi perangkat desa sambil bekerja sebagai PPPK paruh waktu? Bagaimana dampak hukumnya? Dan lebih penting lagi, apa makna moral dari pilihan tersebut?
---
1. Perangkat Desa: Pilar Pemerintahan di Tingkat Akar Rumput
Perangkat desa merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mereka bertanggung jawab menjalankan fungsi administratif, pelayanan publik, dan pembangunan di tingkat desa.
Mereka bukan sekadar "pegawai desa", melainkan penggerak utama pembangunan masyarakat. Kepala desa, sekretaris desa, kasi, kaur, hingga kepala dusun — semua memegang peran vital dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun realitanya, banyak perangkat desa yang menghadapi keterbatasan:
Gaji relatif kecil dibanding beban kerja.
Minim jaminan karier jangka panjang.
Belum ada sistem pensiun yang jelas.
Maka ketika pemerintah membuka rekrutmen PPPK dengan gaji lebih tinggi, tunjangan lebih baik, dan jaminan status setara ASN, tak heran banyak perangkat desa yang ikut mendaftar.
---
2. PPPK: Jalan Baru Menuju Status ASN
Program PPPK muncul sebagai jawaban atas keterbatasan rekrutmen PNS. Pemerintah ingin memberi peluang kepada tenaga profesional, termasuk guru, tenaga teknis, dan kesehatan, agar memiliki status kepegawaian yang jelas.
Berbeda dengan PNS, PPPK memiliki masa kerja kontrak tertentu, namun tetap menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas setara ASN aktif.
Bagi banyak warga desa — terutama perangkat yang telah lama mengabdi — peluang ini terasa seperti "pintu emas menuju kesejahteraan".
Namun di sinilah persoalan muncul. Setelah dinyatakan lolos PPPK, mereka masih berstatus perangkat desa aktif.
Padahal, menurut peraturan kepegawaian dan tata pemerintahan, seseorang tidak diperkenankan merangkap dua jabatan dalam instansi pemerintahan berbeda.
---
3. Regulasi yang Menjadi Titik Dilema
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Desa, disebutkan bahwa perangkat desa dapat diberhentikan karena:
1. Meninggal dunia,
2. Permintaan sendiri,
3. Diberhentikan karena melanggar larangan atau tidak memenuhi syarat lagi.
Sementara itu, dalam regulasi ASN — khususnya PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK — terdapat ketentuan bahwa pegawai pemerintah tidak boleh memiliki jabatan rangkap yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Dari sinilah muncul kebingungan:
Apakah perangkat desa yang lolos PPPK harus otomatis mundur dari jabatan desa?
Ataukah karena status PPPK bersifat "kontrak paruh waktu", mereka masih bisa menjalankan dua peran sekaligus?
Beberapa pemerintah daerah bahkan menunda pelantikan PPPK dari kalangan perangkat desa sambil menunggu surat edaran resmi dari Kemendagri dan KemenPAN-RB.
Hukum menjadi "abu-abu", dan desa-desa pun menghadapi kebingungan administratif yang nyata.
---
4. Dilema Moral dan Sosial di Lapangan
Selain aspek hukum, dilema ini juga menyentuh nilai moral dan tanggung jawab sosial.
Perangkat desa adalah figur publik yang dikenal masyarakat. Mereka bekerja langsung melayani warga — mengurus administrasi kependudukan, bantuan sosial, dan pembangunan infrastruktur.
Ketika seorang perangkat desa lolos PPPK dan berencana meninggalkan jabatannya, sering muncul dua reaksi sosial:
Sebagian warga bangga karena "orang desa bisa naik status menjadi ASN".
Namun sebagian lainnya kecewa karena "perangkat yang dulu melayani kini pergi sebelum masa pengabdian selesai."
Kondisi ini sering kali menimbulkan kecanggungan sosial di tingkat lokal. Ada perangkat yang merasa serba salah: ingin maju secara karier, tapi juga tidak tega meninggalkan rekan kerja dan masyarakat desa yang sudah percaya.
---
5. Dampak Administratif dan Pembangunan Desa
Secara praktis, keberangkatan sejumlah perangkat desa menuju formasi PPPK bisa mengganggu stabilitas birokrasi di tingkat desa.
Beberapa dampak yang terdeteksi antara lain:
Kekosongan jabatan administratif, seperti Sekdes atau Kasi Pelayanan, yang membuat pelayanan publik tersendat.
Penundaan kegiatan pembangunan, karena keputusan anggaran dan dokumen desa memerlukan tanda tangan pejabat aktif.
Penyesuaian ulang APBDes, karena gaji perangkat yang mundur perlu direalokasikan.
Di beberapa daerah, kepala desa bahkan meminta agar perangkat yang lolos PPPK tetap bertugas sementara sampai pengganti dilantik. Namun kebijakan seperti ini berisiko melanggar aturan kepegawaian, jika tidak ada dasar hukum yang jelas.
---
6. Solusi yang Mulai Ditempuh Daerah
Sejumlah pemerintah kabupaten mulai mengambil inisiatif sendiri.
Contohnya:
Ada daerah yang meminta perangkat mengundurkan diri secara resmi sebelum menerima SK PPPK.
Ada pula yang menunda pemberhentian sampai ada surat resmi dari pusat.
Beberapa lainnya mencoba menawarkan opsi cuti sementara atau penugasan khusus.
Namun semua opsi tersebut memiliki risiko hukum dan administratif. Tanpa regulasi nasional yang eksplisit, keputusan kepala daerah bisa berbeda-beda dan menimbulkan ketimpangan kebijakan antarwilayah.
---
7. Perspektif Kemendagri dan KemenPAN-RB
Menurut sejumlah pernyataan pejabat di Kemendagri, perangkat desa yang lolos PPPK sebaiknya mengajukan pengunduran diri karena status mereka berubah menjadi pegawai pemerintah.
Hal ini dianggap untuk menghindari potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih tanggung jawab.
Namun, KemenPAN-RB juga memahami bahwa perangkat desa bukan PNS atau ASN penuh, melainkan pejabat pemerintahan desa. Sehingga, beberapa daerah meminta agar dibuat kebijakan transisi yang manusiawi — misalnya memberi waktu hingga enam bulan untuk menyelesaikan administrasi desa sebelum berhenti total.
Artinya, dilema ini bukan hanya administratif, tetapi juga menyentuh dimensi kemanusiaan dan transisi karier.
---
8. Suara dari Lapangan: Antara Syukur dan Bingung
Banyak testimoni perangkat desa yang lolos PPPK mencerminkan campuran antara rasa syukur dan kebingungan.
Seorang Sekdes di Bojonegoro, misalnya, mengaku bangga bisa lolos formasi PPPK tenaga teknis. Namun ia juga resah karena harus meninggalkan jabatannya yang sudah ia jalani selama 10 tahun.
> "Saya ingin tetap membantu desa, tapi aturan belum jelas. Kalau saya keluar sekarang, siapa yang menggantikan? Tapi kalau saya menolak PPPK, sayang sekali kesempatan ini datang sekali seumur hidup," ujarnya.
Sementara itu, kepala desa di daerah lain mengeluhkan bahwa tiga dari enam perangkatnya lolos PPPK secara bersamaan.
Akibatnya, urusan administrasi menumpuk dan pelayanan warga tertunda.
Fenomena ini menandakan bahwa kebutuhan akan aturan transisi nasional sangat mendesak.
---
9. Analisis: Mengapa Kasus Ini Terjadi
Beberapa ahli kebijakan publik menilai dilema ini muncul karena kurangnya sinkronisasi antarinstansi.
Kementerian Desa tidak secara eksplisit melarang perangkat ikut seleksi PPPK.
KemenPAN-RB membuka peluang bagi siapa pun dengan pengalaman administrasi pemerintahan.
Namun tidak ada mekanisme transisi bagi perangkat yang diterima.
Dengan kata lain, dua sistem pemerintahan berjalan paralel tanpa penghubung.
Padahal, baik perangkat desa maupun PPPK sama-sama bekerja untuk negara, hanya di level berbeda.
Fenomena ini mencerminkan perlunya sinkronisasi lintas kementerian agar pengabdian di desa tidak dianggap sekadar "batu loncatan", melainkan bagian dari karier berjenjang dalam sistem pemerintahan nasional.
---
10. Refleksi: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan
Bagi perangkat desa, dilema ini adalah soal pilihan antara idealisme dan realitas.
Bertahan di desa berarti melanjutkan pengabdian langsung ke masyarakat, tapi dengan kesejahteraan yang terbatas.
Sementara menerima PPPK berarti meningkatkan status dan jaminan hidup, tapi meninggalkan posisi yang dulu dijalani dengan penuh tanggung jawab sosial.
Idealnya, negara tidak memaksa mereka memilih salah satu, tetapi menyediakan mekanisme yang adil dan manusiawi.
Misalnya:
Mengakui masa kerja perangkat desa sebagai poin pengalaman untuk PPPK.
Memberi kompensasi bagi desa yang kehilangan perangkat.
Membangun jenjang karier formal dari desa menuju ASN.
Dengan begitu, pengabdian di tingkat desa tidak berhenti karena "panggilan status", tetapi justru menjadi bagian dari tangga karier pemerintahan yang berkesinambungan.
---
11. Kesimpulan: Menyusun Kebijakan yang Berkeadilan
Fenomena perangkat desa lolos PPPK paruh waktu membuka mata banyak pihak bahwa pembangunan sumber daya manusia pemerintahan masih memiliki celah koordinasi.
Negara perlu segera menyusun pedoman nasional yang:
Menjamin keadilan hukum bagi perangkat desa,
Menjaga keberlanjutan pelayanan publik di desa,
Serta memberi penghargaan atas pengabdian mereka yang selama ini menjadi ujung tombak pemerintahan di akar rumput.
Sampai kebijakan itu hadir, dilema ini akan terus menjadi perbincangan panjang — antara kebanggaan atas pencapaian, dan kesedihan atas kehilangan tenaga berpengalaman di desa.
---
Penutup
Perangkat desa yang lolos PPPK bukanlah pengkhianat pengabdian, melainkan warga negara yang berjuang mencari kepastian karier dan kesejahteraan.
Namun negara juga perlu hadir untuk memastikan bahwa semangat pengabdian di desa tidak luntur oleh sistem yang belum sinkron.
Sebuah kebijakan yang bijak bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga memahami sisi manusia di baliknya.
Karena pada akhirnya, baik perangkat desa maupun PPPK — keduanya adalah pelayan rakyat yang bekerja di bawah satu cita: mewujudkan pemerintahan yang adil, sejahtera, dan berkeadaban.
---