---
Belum Cukup, Alumni Ponpes Lirboyo Ingin Bertemu Pihak Program Xpose Trans7
KEDIRI – Polemik antara Pondok Pesantren Lirboyo dan program Xpose Trans7 tampaknya belum berakhir. Meski pihak manajemen Trans7 telah datang langsung ke Kediri untuk menyampaikan permintaan maaf atas tayangan yang dianggap menyinggung perasaan umat dan melecehkan marwah pesantren, kalangan alumni dan santri Lirboyo menilai permintaan maaf tersebut belum menyentuh akar persoalan.
Permintaan maaf itu dianggap baru langkah administratif, belum menjadi bentuk pertanggungjawaban moral dan belum menyentuh aspek edukatif yang diharapkan bisa mengubah cara pandang media terhadap dunia pesantren. Oleh karena itu, sejumlah alumni kini mendesak agar diadakan pertemuan langsung antara pihak produksi Xpose dengan perwakilan alumni dan pengasuh Lirboyo.
---
Permintaan Maaf yang Dianggap Belum Tuntas
Dalam pernyataannya, manajemen Trans7 menyebut bahwa tayangan tersebut tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak mana pun dan murni kekeliruan editorial. Mereka juga menegaskan komitmen untuk memperbaiki sistem pengawasan isi tayangan agar hal serupa tidak terulang.
Namun, bagi banyak alumni Lirboyo, permintaan maaf tersebut dirasa belum cukup menyentuh hati. Mereka menilai bahwa akar masalahnya bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi kurangnya pemahaman tim produksi terhadap nilai-nilai pesantren dan sensitivitas keagamaan masyarakat Indonesia.
Salah satu alumni senior Lirboyo, KH. Ahmad Zainul Muttaqin, menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukan hanya klarifikasi, tetapi juga dialog terbuka dan pembelajaran bersama.
> "Kami bukan ingin memperpanjang polemik. Tapi kami ingin agar media nasional belajar menghormati lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Permintaan maaf boleh, tapi memahami akar kesalahan jauh lebih penting," ujarnya, Kamis (16/10).
Beliau juga menambahkan bahwa Lirboyo selama ini dikenal sebagai pesantren yang terbuka dan toleran, namun tetap tegas dalam menjaga kehormatan lembaganya.
> "Kami membuka diri untuk media, untuk siapapun. Tapi kalau pesantren dijadikan bahan sensasi, itu yang kami tolak," tegasnya.
---
Suara Alumni Muda: Dari Kekecewaan ke Harapan
Bagi generasi muda alumni, kasus ini menjadi momentum penting untuk mendorong literasi pesantren di media nasional. Mereka menilai banyak jurnalis dan produser televisi yang belum memahami seluk-beluk kehidupan pesantren, sehingga mudah keliru dalam framing atau penyajian berita.
M. Fathur Rahman, pengurus Ikatan Alumni Santri Lirboyo (IKSAB), mengatakan bahwa pihaknya siap menjadi jembatan untuk komunikasi antara pesantren dan media.
> "Kami ingin bertemu langsung dengan tim Xpose. Bukan untuk marah-marah, tapi untuk berdialog. Kami ingin mereka tahu bagaimana kehidupan santri yang sesungguhnya. Kalau perlu, kami undang mereka tinggal beberapa hari di Lirboyo agar paham dari dalam," katanya.
Fathur menambahkan bahwa tayangan yang salah tafsir bisa menimbulkan dampak luas, bukan hanya bagi Lirboyo, tetapi juga terhadap persepsi publik terhadap dunia pesantren secara keseluruhan.
> "Ketika satu pesantren diframing negatif, publik yang tidak mengenal pesantren bisa salah paham. Ini yang berbahaya," ujarnya.
---
KPI Diminta Tetap Tegas
Polemik ini juga menarik perhatian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Beberapa tokoh masyarakat mendesak agar KPI tidak hanya menerima klarifikasi dari Trans7, tetapi juga memastikan adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyiaran dan pengawasan konten.
Menurut pengamat komunikasi publik, Dr. Siti Nur Aini dari Universitas Airlangga, tanggung jawab media dalam kasus seperti ini tidak berhenti di permintaan maaf.
> "Media memiliki tanggung jawab sosial. Ketika tayangan menimbulkan kegaduhan sosial dan melukai identitas budaya atau agama, maka harus ada langkah perbaikan sistemik, bukan hanya permintaan maaf formalitas," jelasnya.
Ia menambahkan, kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh lembaga penyiaran nasional untuk membangun literasi budaya dan keagamaan di internal redaksi.
> "Media bisa kritis terhadap apa saja, tapi tetap harus peka terhadap kearifan lokal dan nilai spiritual masyarakat," tambahnya.
---
Resonansi di Dunia Maya: Santri Bersatu di Jagat Digital
Tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun gaung kasus ini terus meluas. Tagar seperti #Trans7MintaMaaf, #LirboyoDihormati, dan #SantriBergerak ramai muncul di media sosial.
Para santri dan alumni muda dari berbagai daerah mengekspresikan kekecewaan, namun tetap dengan cara santun dan edukatif. Mereka mengingatkan publik bahwa pesantren bukan lembaga tertutup, tetapi komunitas pendidikan yang berakar kuat pada nilai-nilai moral dan kebangsaan.
Seorang santri asal Mojokerto menulis di platform X:
> "Kami bukan marah karena tersinggung, kami marah karena disalahpahami. Lirboyo dan pesantren lain bukan lembaga kolot. Kami tempat lahirnya pemikir besar bangsa."
Unggahan tersebut mendapat ribuan retweet dan menjadi simbol solidaritas santri nasional yang menuntut agar media menghormati pesantren sebagai bagian penting dari sejarah Indonesia.
---
Lirboyo: Simbol Keilmuan dan Keberagaman Islam Nusantara
Untuk memahami kekecewaan ini, publik perlu memahami posisi Pondok Pesantren Lirboyo dalam peta pendidikan Islam di Indonesia. Berdiri sejak awal abad ke-20, pesantren ini dikenal sebagai pusat keilmuan fiqih, tasawuf, dan kaderisasi ulama Nahdlatul Ulama (NU).
Ribuan santri dari berbagai daerah datang ke Lirboyo setiap tahun. Mereka belajar bukan hanya kitab kuning, tetapi juga disiplin sosial, kedisiplinan spiritual, dan adab terhadap guru.
Bagi kalangan pesantren, kehormatan bukan sekadar soal nama lembaga, tapi simbol perjuangan para kiai dan ulama terdahulu yang berjuang menegakkan moral bangsa.
Salah satu pengasuh, KH. Abdullah Kafabihi Mahrus, dalam pertemuan internal menegaskan:
> "Kami tidak menolak kritik. Kami hanya ingin kritik datang dengan ilmu dan adab. Pesantren tidak boleh dijadikan bahan sensasi, karena di sini ada kehormatan para ulama yang dijaga."
---
Analisis Media: Ketika Kebebasan Pers Bertemu Batas Etika
Kasus Xpose ini memperlihatkan bagaimana ketegangan antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial seringkali muncul di ruang publik Indonesia.
Dalam demokrasi, media memiliki hak untuk menyampaikan informasi dan melakukan kontrol sosial. Namun, di sisi lain, media juga harus sadar bahwa Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk dan religius.
Dr. Siti Nur Aini menyebut bahwa kasus ini adalah contoh klasik ketidakhadiran perspektif budaya dalam newsroom.
> "Sering kali tim produksi terlalu fokus pada rating dan sensasi, tanpa melakukan verifikasi sosial. Padahal setiap tayangan memiliki dampak psikologis dan sosial yang besar," katanya.
Ia juga menilai perlu adanya kurikulum etika media berbasis kearifan lokal di setiap lembaga penyiaran.
> "Kalau media ingin dipercaya, mereka harus memahami konteks sosial masyarakatnya," tegasnya.
---
Langkah Solutif: Dialog, Edukasi, dan Kolaborasi
Sejumlah alumni Lirboyo kini menggagas rencana "Dialog Media dan Pesantren", sebuah forum terbuka yang mempertemukan kalangan jurnalis, produser televisi, dan pengasuh pesantren.
Tujuannya adalah untuk menyusun panduan etika peliputan dunia pesantren, agar ke depan tidak ada lagi kesalahpahaman dalam penyajian tayangan publik.
> "Kami ingin Trans7 menjadi bagian dari solusi, bukan musuh. Jika mereka bersedia datang dan berdialog, itu akan menjadi sejarah baru hubungan media dan pesantren," ujar Fathur Rahman.
Dalam konsep yang tengah disusun, dialog ini juga akan mengundang KPI, Dewan Pers, dan perwakilan media lain agar menjadi forum refleksi nasional tentang jurnalisme dan nilai-nilai Islam Nusantara.
---
Konteks Sosial: Pesantren dan Media di Era Digital
Dalam dua dekade terakhir, hubungan antara pesantren dan media semakin kompleks. Pesantren sering menjadi bahan liputan, namun tidak jarang diberitakan secara bias—antara dianggap tertinggal, kolot, atau bahkan ekstrem.
Padahal, banyak pesantren kini telah bertransformasi menjadi pusat inovasi digital, kewirausahaan, dan pendidikan karakter.
Pesantren seperti Lirboyo, Tebuireng, Gontor, dan Sidogiri bahkan memiliki unit media internal, kanal YouTube, dan program literasi digital. Mereka ingin menampilkan wajah Islam Indonesia yang ramah dan moderat.
Sayangnya, media arus utama masih kerap melupakan sisi-sisi positif ini. Maka tidak heran, ketika ada tayangan yang salah tafsir, reaksi keras muncul sebagai bentuk pembelaan terhadap citra pesantren yang sudah lama mereka bangun dengan penuh perjuangan.
---
Seruan Moral dari Para Kiai
Sejumlah kiai dan ulama dari berbagai daerah juga ikut memberikan tanggapan. Mereka menilai bahwa kasus ini harus dijadikan pelajaran moral bagi media nasional.
KH. Anwar Manshur, ulama sepuh Lirboyo, menuturkan dengan lembut namun tegas:
> "Kami memaafkan siapa pun yang khilaf. Tapi mohon jangan ulangi. Media punya peran mendidik bangsa. Jangan sampai karena tayangan lima menit, kehormatan pesantren yang dibangun puluhan tahun menjadi rusak."
Sementara KH. Ma'ruf Khozin, tokoh muda NU, menilai kasus ini bisa menjadi jalan bagi rekonsiliasi dan pendidikan media.
> "Kalau Trans7 mau datang lagi dan berdialog langsung dengan para santri, saya kira itu langkah bijak. Indonesia butuh media yang paham agama dan agama yang memahami media," ujarnya.
---
Reaksi Pemerintah dan Tokoh Publik
Sejumlah tokoh publik juga ikut menyoroti. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI bidang agama, Ratna Juwita, mengatakan bahwa negara perlu memperkuat regulasi penyiaran agar tayangan yang menyentuh simbol agama mendapat perhatian lebih serius.
> "Kebebasan media penting, tapi etika sosial dan moral bangsa juga penting. Jangan ada yang merasa bebas tapi melukai nilai keagamaan masyarakat," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah dan KPI perlu menggandeng kalangan pesantren dalam proses konsultasi penyusunan pedoman penyiaran agama dan budaya.
---
Harapan Baru: Dari Luka Menjadi Cermin Kebersamaan
Kini, di tengah suasana refleksi dan dialog, muncul harapan baru bahwa polemik ini bisa menjadi cermin kebersamaan antara pesantren dan media.
Bagi alumni Lirboyo, mereka tidak mencari permusuhan, melainkan pemahaman dan penghargaan. Mereka ingin agar pesantren dilihat bukan sebagai objek eksotik, tetapi sebagai subjek aktif dalam pembangunan moral bangsa.
> "Kami ingin media datang bukan untuk menilai, tapi untuk belajar bersama. Karena pesantren dan media sama-sama punya misi mencerdaskan masyarakat," tutur Fathur Rahman.
---
Menatap ke Depan: Membangun Kesadaran Baru
Kasus ini membuka ruang refleksi yang lebih besar: bagaimana media bisa berperan membangun narasi positif tentang agama, tanpa kehilangan daya kritisnya.
Para santri berharap, setelah ini, akan muncul lebih banyak program televisi yang menggali nilai-nilai luhur pesantren — tentang kesederhanaan, kerja keras, disiplin, dan cinta tanah air.
Bayangkan jika Xpose, yang dikenal tajam dan investigatif, suatu hari membuat liputan berjudul "Dari Santri untuk Negeri: Jejak Pesantren Membangun Indonesia". Itu akan menjadi bukti nyata bahwa media mampu memperbaiki diri dan berkontribusi pada harmoni bangsa.
---
Penutup: Dari Maaf Menuju Pemahaman
Bagi Lirboyo, luka ini bukan untuk disimpan, tapi untuk dijadikan pelajaran. Permintaan maaf Trans7 adalah awal yang baik, namun pertemuan langsung dan dialog terbuka akan menjadi langkah sejati menuju rekonsiliasi.
Dalam masyarakat yang beradab, kesalahan bukan untuk dihukum, tetapi untuk diperbaiki dengan kesadaran dan kejujuran. Dan dalam konteks inilah, pesantren sekali lagi mengajarkan kepada bangsa: bahwa marah bisa berubah menjadi maaf, dan maaf bisa tumbuh menjadi pemahaman.
Mungkin inilah hikmah dari semua yang terjadi — bahwa dari sebuah tayangan televisi yang sempat menyakitkan, lahir kesadaran baru tentang pentingnya menjaga kehormatan, membangun empati, dan menghidupkan nilai adab di tengah hiruk pikuk media modern.
---