Anggota DPR-RI Adies Kadir Geram: “Negara Jangan Kalah dari Mafia Tanah” Sengketa Lahan 224 Hektare di Surabaya Memanas



---

Sengketa Lahan 224 Hektare di Surabaya Memanas, Anggota DPR-RI Adies Kadir Geram: "Negara Jangan Kalah dari Mafia Tanah"

Sengketa lahan seluas 224 hektare di Surabaya kembali menjadi buah bibir publik setelah muncul pernyataan tegas dari Anggota DPR-RI Adies Kadir yang geram atas lambannya penyelesaian konflik tersebut. Kasus yang sudah bergulir lebih dari dua dekade ini kini kembali mencuat setelah warga yang menempati lahan merasa diintimidasi dan mendapat ancaman penggusuran dari pihak yang mengklaim kepemilikan baru.

Adies, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, menegaskan bahwa negara tidak boleh tunduk pada mafia tanah. Ia meminta aparat penegak hukum dan Kementerian ATR/BPN turun langsung mengusut akar persoalan yang sudah merugikan banyak warga Surabaya itu.

> "Sudah bertahun-tahun rakyat menunggu kepastian hukum. Negara tidak boleh kalah dari mafia tanah. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk bagi kota besar lain di Indonesia," tegas Adies di Jakarta, Jumat (17/10/2025).




---

Awal Sengketa: Dari Tanah Negara Hingga Sertifikat Ganda

Kisah sengketa lahan 224 hektare ini bermula pada akhir 1980-an. Kala itu, kawasan di Surabaya Timur dan sebagian Selatan masih berupa tanah negara tak bertuan, sebagian merupakan eks tanah pertanian dan rawa yang tidak produktif. Beberapa warga kemudian mulai menggarap lahan tersebut untuk kebutuhan tempat tinggal dan pertanian kecil-kecilan.

Masuk era 1990-an, kawasan itu mulai berkembang seiring meluasnya pembangunan kota. Pemerintah daerah mencatat banyak warga sudah menetap secara permanen, bahkan ada yang membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setiap tahun. Namun, hingga tahun 2000-an awal, status hukum lahan tersebut belum jelas — belum semua memiliki sertifikat resmi.

Masalah mulai muncul ketika sekitar tahun 2005, muncul dokumen baru yang menyatakan sebagian wilayah itu telah beralih kepemilikan kepada pihak swasta melalui proses jual beli dan konversi hak atas tanah. Anehnya, sertifikat lama milik warga masih tercatat aktif di BPN. Dari sinilah benih konflik mulai tumbuh.


---

Kronologi Tahun demi Tahun

🟢 1985–1995:
Warga mulai menempati dan menggarap lahan yang kala itu belum bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar mengantongi surat garapan dan bukti pembayaran pajak.

🟢 1996–2000:
Pemkot Surabaya mulai membuka akses jalan baru dan merencanakan pengembangan wilayah. Namun belum ada kejelasan hukum terhadap status tanah yang ditempati warga.

🟢 2001–2008:
Beberapa perusahaan properti mulai melirik kawasan tersebut. Di tengah proses pengajuan izin, muncul klaim dari pihak ketiga yang mengaku sebagai ahli waris pemilik lama, dengan membawa dokumen berupa akta jual beli dan sertifikat hak milik. Dalam periode ini, terjadi penerbitan sertifikat ganda.

🟢 2009–2015:
Muncul aksi protes warga karena merasa tanah yang mereka tempati puluhan tahun tiba-tiba diklaim orang lain. Sejumlah pengembang juga mulai mengajukan izin pembangunan di sebagian area sengketa. Konflik sempat mereda saat BPN membekukan sementara proses legalisasi tanah di wilayah tersebut.

🟢 2016–2021:
Kasus mulai masuk ke meja hijau. Beberapa warga menggugat secara perdata, namun proses hukum berjalan lamban. Dugaan munculnya mafia tanah semakin kuat setelah ditemukan dokumen jual beli yang diduga dipalsukan.

🟢 2022–2025:
Sengketa kembali memanas. Sejumlah warga mendapat surat peringatan pengosongan dari pihak yang mengaku sebagai pemilik sah. Konflik sosial meningkat, bahkan ada laporan warga yang mengalami intimidasi. Di sisi lain, investor mulai menahan diri masuk ke wilayah tersebut karena status lahan belum jelas.


---

Suara Warga: "Kami Bukan Pendatang Ilegal"

Di kawasan yang disengketakan, terutama sekitar Rungkut, Gunung Anyar, dan Wonocolo, ratusan kepala keluarga masih bertahan di rumah mereka. Sebagian besar warga sudah menetap di sana lebih dari 30 tahun.

Sutarmi (62), salah satu warga, bercerita dengan mata berkaca-kaca:

> "Kami ini bukan pendatang ilegal. Kami punya surat pajak, punya izin RT-RW. Anak-anak kami lahir dan besar di sini. Tapi kenapa tiba-tiba muncul orang ngaku punya sertifikat atas tanah kami?"



Hal serupa disampaikan oleh Suyono (55), seorang pensiunan pegawai negeri:

> "Dulu lahan ini rawa, kami yang menguruk, membangun, bahkan memasang saluran air sendiri. Sekarang tiba-tiba disebut milik pengembang. Rasanya tidak adil."



Masyarakat setempat kini hanya berharap negara benar-benar turun tangan, bukan sekadar janji. Mereka sudah lelah menghadapi surat peringatan dan panggilan mediasi yang tak pernah jelas hasilnya.


---

Dugaan Mafia Tanah di Balik Layar

Kasus lahan 224 hektare ini menarik perhatian publik karena pola permainannya mirip dengan kasus-kasus mafia tanah di kota besar lain. Menurut analisis pengamat agraria Universitas Airlangga, Dr. Taufik Hidayat, terdapat pola klasik: sertifikat lama dipalsukan, akta jual beli dimanipulasi, lalu diterbitkan sertifikat baru melalui jalur administratif.

> "Biasanya ada keterlibatan oknum pejabat, notaris, atau pihak yang punya akses ke dokumen lama. Mereka memanfaatkan celah karena sistem arsip pertanahan masih manual," jelasnya.



Ia menegaskan bahwa jika tidak diusut secara tuntas, kasus seperti ini akan terus berulang. "Mafia tanah itu bukan orang kecil, mereka punya jaringan dan dana besar. Harus dilawan dengan sistem digital dan penegakan hukum tegas," tambahnya.


---

Adies Kadir: Tegas, Kritis, dan Turun Langsung

Sebagai wakil rakyat dari Surabaya, Adies Kadir menegaskan tidak akan tinggal diam. Ia bahkan sudah meminta Kementerian ATR/BPN membentuk tim investigasi khusus untuk menelusuri sejarah kepemilikan lahan tersebut.

> "Saya akan bawa ini ke rapat Komisi III DPR-RI. Kita panggil semua pihak, dari BPN, Pemkot, hingga aparat hukum. Kalau memang ada permainan, harus dibongkar," ujar Adies tegas.



Ia juga menyoroti adanya sertifikat ganda yang diterbitkan dalam kurun waktu berdekatan, padahal berdasarkan regulasi, BPN seharusnya sudah memiliki sistem verifikasi silang. "Kalau sampai bisa ada sertifikat di atas tanah yang sama, berarti ada yang salah di sistem," katanya.

Bagi Adies, penyelesaian sengketa ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal moral dan keadilan publik. "Negara tidak boleh membiarkan rakyat kecil kalah oleh mafia yang memanfaatkan hukum untuk keuntungan pribadi," tegasnya.


---

Respons Pemerintah Kota dan ATR/BPN

Pemerintah Kota Surabaya melalui Kepala Dinas Cipta Karya menyatakan siap membantu penelusuran data, namun tetap berhati-hati karena sebagian wilayah sudah masuk dalam rencana tata ruang kota (RTRK).

> "Kami tidak ingin salah langkah. Beberapa area sudah masuk kawasan hijau dan fasilitas umum. Kami serahkan ke ATR/BPN untuk memverifikasi dokumen secara hukum," katanya.



Sementara itu, pihak ATR/BPN Jawa Timur membenarkan adanya tumpang tindih sertifikat di wilayah tersebut. "Kami sedang melakukan audit administrasi. Jika ada sertifikat yang terbukti tidak sah, tentu akan dibatalkan," ujar salah satu pejabat BPN.

Namun, di balik pernyataan resmi itu, sejumlah sumber di lapangan menyebutkan bahwa proses verifikasi berjalan sangat lambat. Banyak warga mengeluh karena harus bolak-balik ke kantor pertanahan tanpa hasil pasti.


---

Nilai Ekonomi Lahan dan Godaan Besar di Baliknya

Dengan luas mencapai 224 hektare, nilai lahan tersebut kini ditaksir mencapai lebih dari Rp 7 triliun berdasarkan harga pasar properti di Surabaya Timur. Kawasan itu dinilai sangat strategis karena berdekatan dengan jalan tol Waru–Juanda, kawasan industri Rungkut, dan area perumahan elit baru.

Tak heran jika banyak pihak tergoda untuk menguasai tanah tersebut. Seorang pengamat properti bahkan menyebut lahan itu sebagai "tambang emas tersembunyi di jantung Surabaya Timur".

Potensi ekonomi inilah yang membuat banyak pihak mencoba memanfaatkan celah hukum. Sayangnya, yang menjadi korban justru warga kecil yang tidak punya akses ke dokumen resmi.


---

Dampak Sosial dan Psikologis

Selain aspek hukum dan ekonomi, konflik ini juga berdampak besar secara sosial. Banyak warga kini hidup dalam ketakutan. Beberapa keluarga menunda renovasi rumah, takut dianggap membangun di atas tanah sengketa. Anak-anak mereka pun tumbuh dengan rasa tidak aman karena sering melihat aparat datang membawa surat peringatan.

"Kadang malam-malam kami tidak bisa tidur, takut ada penggusuran mendadak," kata Suyono lirih.

Bagi mereka, konflik ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal harga diri dan masa depan. "Kami bukan menolak hukum, tapi kami ingin hukum berpihak pada kebenaran," ujar Sutarmi.


---

Langkah DPR-RI: Dorong Tim Terpadu Nasional

Sebagai tindak lanjut, Komisi III DPR-RI berencana membentuk Tim Terpadu Nasional Penanganan Sengketa Lahan Surabaya. Tim ini akan terdiri dari unsur DPR, ATR/BPN, Kejaksaan, Kepolisian, Pemkot Surabaya, serta perwakilan masyarakat.

Fungsinya bukan hanya investigatif, tapi juga mediasi aktif dan transparan. Rencana kerja tim meliputi:

1. Audit forensik dokumen pertanahan (menggali asal-usul setiap sertifikat).


2. Digitalisasi peta lahan sengketa agar publik bisa memantau secara daring.


3. Verifikasi data kepemilikan melalui sistem geospasial.


4. Mediasi dan pemberian kompensasi bagi pihak yang dirugikan secara sah.



Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah, sekaligus menjadi pilot project nasional dalam pemberantasan mafia tanah.


---

Kelemahan Sistem Pertanahan Nasional

Kasus di Surabaya bukanlah satu-satunya. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 1.500 kasus serupa terjadi di Indonesia. Mayoritas disebabkan oleh lemahnya sistem arsip manual dan belum tuntasnya program sertifikasi elektronik (e-sertifikat) yang dijanjikan pemerintah.

Masih banyak daerah yang mengandalkan dokumen fisik, yang mudah rusak atau dimanipulasi. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menerbitkan dokumen baru dengan celah administratif.

Adies Kadir menilai reformasi sistem pertanahan harus dipercepat.

> "Kita butuh sistem digital yang tidak bisa diubah seenaknya. Semua data harus terbuka untuk publik agar transparan," ujarnya.




---

Harapan Warga: Keadilan yang Nyata, Bukan Sekadar Janji

Meski proses hukum masih panjang, warga tetap berharap ada titik terang. Mereka ingin agar setiap pihak yang memalsukan dokumen tanah dihukum berat, dan tanah yang mereka tempati puluhan tahun diakui secara hukum.

"Kalau negara hadir, kami yakin masih ada keadilan," ujar seorang tokoh masyarakat Rungkut. "Tapi kalau dibiarkan, rakyat kecil pasti kalah."


---

Kesimpulan: Momentum Melawan Mafia Tanah

Sengketa lahan 224 hektare di Surabaya kini bukan lagi sekadar konflik kepemilikan, melainkan ujian besar bagi penegakan hukum agraria di Indonesia.

Pernyataan keras dari Adies Kadir menjadi pengingat bahwa keadilan tanah bukan hanya soal sertifikat, tetapi tentang hak hidup, kepercayaan publik, dan keberanian negara melawan mafia.

Jika pemerintah, DPR, dan aparat hukum benar-benar menindaklanjuti kasus ini dengan tegas dan transparan, maka konflik ini bisa menjadi awal baru bagi reformasi pertanahan nasional yang bersih dan berkeadilan.

> "Saya tidak akan berhenti sampai rakyat mendapat keadilan. Negara harus hadir. Kita tidak boleh kalah dari mafia tanah," tutup Adies Kadir dengan nada tegas.




---


PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI

PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI - JUAL BELI BLOG - JUAL BLOG UNTUK KEPERLUAN DAFTAR ADSENSE - BELI BLOG BERKUALITAS - HUBUNGI KAMI SEGERA

Post a Comment

Support By Yahoo!
Support By Bing

Previous Post Next Post