---
Lomba Makan Kerupuk di RT 13: Tawa, Teriakan, dan Tali Silaturahmi yang Tak Tergoyahkan
Malam itu, langit di atas RT 13 dihiasi gemerlap lampu hias berwarna merah, hijau, dan biru yang menggantung indah di sepanjang gang kecil. Meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, suasana tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Justru sebaliknya—suara tawa dan sorakan memenuhi udara. Warga RT 13 berkumpul, duduk di kursi plastik atau berdiri sambil membawa anak-anak kecil, menikmati momen istimewa tahunan: perlombaan 17 Agustus.
Dari berbagai lomba yang disiapkan panitia, salah satu yang paling ditunggu-tunggu malam itu adalah lomba makan kerupuk. Perlombaan klasik yang tidak pernah lekang oleh waktu ini kembali menghadirkan hiburan murah meriah, namun kaya akan makna kebersamaan.
Persiapan Sederhana, Antusiasme Luar Biasa
Panitia lomba yang terdiri dari remaja Karang Taruna RT 13 telah bersiap sejak sore hari. Mereka memasang tali rafia melintang dari tiang ke tiang, menggantung kerupuk-kerupuk yang sudah ditimbang dan dipastikan posisinya adil untuk semua peserta. Kerupuk tersebut tampak menggantung manis, bergoyang-goyang ditiup angin malam, seolah menantang siapa yang paling cepat menghabiskannya tanpa bantuan tangan.
Kursi-kursi plastik mulai disusun. Para ibu, yang menjadi peserta kali ini, maju satu per satu dan duduk dengan santai namun penuh semangat. Beberapa bahkan membawa serta anak mereka untuk menonton dari dekat.
Salah satu panitia berteriak lantang, "Siap ya, Bu! Tidak boleh pakai tangan. Kalau jatuh, ambil pakai mulut!"
Teriakan itu langsung disambut tawa riuh dari penonton.
Detik-detik yang Menegangkan dan Menggelikan
"SIAP… MULAI!"
Begitu aba-aba dimulai, seluruh peserta serempak mendongakkan kepala, menjulurkan lidah, dan berusaha menggapai kerupuk yang bergoyang-goyang tak tentu arah. Ada yang langsung menggigit dan menariknya cepat, ada pula yang kesulitan karena kerupuk terus menjauh saat didekati.
Seorang ibu mengenakan baju hitam terlihat hampir berhasil, namun karena terlalu semangat, kerupuknya malah terpental dan jatuh ke pangkuannya. Penonton pun langsung berseru, "Aduh sayang banget, Bu!"
Tak hanya seru, lomba ini juga menjadi ajang unjuk kelucuan alami. Ada yang sampai menutup mata karena terlalu fokus, ada yang memiringkan kepala sampai hampir terjatuh dari kursi. Dan ketika akhirnya ada peserta yang berhasil menghabiskan kerupuk lebih dulu, tepuk tangan dan sorakan kemenangan pun membahana.
Lebih dari Sekadar Lomba: Ini Tentang Kebersamaan
Yang menarik dari momen ini bukan semata-mata siapa yang menang atau kalah. Tapi bagaimana semua orang terlibat, tertawa bersama, dan seolah lupa akan kesibukan harian masing-masing. Warga dari berbagai usia datang dan membaur—yang muda menghormati yang tua, yang tua menyemangati yang muda. Ini bukan hanya perlombaan biasa, tapi juga perwujudan nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, persatuan, dan kekeluargaan.
Acara malam itu ditutup dengan pembagian hadiah simbolis—sebungkus mi instan, minyak goreng, dan snack ringan. Tapi wajah para peserta menunjukkan bahwa yang mereka dapatkan lebih dari sekadar hadiah fisik. Ada kebahagiaan, ada kenangan, dan ada rasa saling memiliki.
Harapan ke Depan
Melalui kegiatan seperti ini, RT 13 membuktikan bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan upacara formal atau pesta megah. Tapi juga bisa diwujudkan dalam kegiatan kecil yang sarat makna. Sebuah lomba makan kerupuk di gang kecil bisa menjadi simbol kekuatan sosial, bahwa ketika masyarakat bersatu, tak ada yang tak mungkin dicapai bersama.
Semoga kebersamaan ini terus berlanjut. Karena di balik tawa dan kerupuk yang menggantung, tersembunyi harapan akan lingkungan yang lebih guyub, damai, dan penuh kasih.
---